Oleh: Kristin Samah

JAKARTA (15/7/2021)—“Mbak… jadikan saya marketing. Manfaatkan jaringan yang saya miliki untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan anak-anak muda Papua,” ujar Tri Rismaharini. Pertemuan pertama dengan Menteri Sosial terjadi pertengahan Februari 2021. Kami meminta Bu Menteri menjadi salah satu motivator untuk program Kemah Pemuda Indonesia di Papua.

Design kegiatan yang semula akan menghadirkan 600 anak muda di Pegunungan Tengah, berubah total. “Jangan cuma ceramah-ceramah, setelah pulang tidak tahu mau buat apa,” ujar Mensos seolah membaca pikiran kami.

Seperti biasa, suaranya bersemangat. Sesekali sambil berkelakar kami ingatkan. “Ya Bu… tapi gak usah marah!” Pecah tawa renyahnya. Ia katakan, memang dari sononya, kalau ngomong selalu bersemangat. Kalau gak kenal disangka marah, katanya.

Prinsip dasar program Pemberdayaan Sosial untuk Pemuda di Papua adalah menciptakan agent of change dengan terapi okupasi. Bu Risma beberapa kali terpaksa mendelegasikan agendanya hari itu pada pejabat yang lain dan melanjutkan semangatnya membicarakan program untuk Papua.

Menteri Sosial memahami betul keunikan Papua. Ada trauma akibat kekerasan di masa lalu. Trauma harus diangkat dengan cara mengajari cara berusaha. Itu prinsip terapi okupasi. Dengan kata lain, kalau pun memperkenalkan entrepreunership ke anak muda Papua, tidak bisa menggunakan teori kewirausahaan secara umum karena ada muatan pemberdayaan sosial dan terapi terhadap trauma.

Kami bergerak cepat menindaklanjuti arahan Tri Rismaharini. Sepanjang bulan Maret-April, tim di Papua dan Papua Barat melakukan survei mendalam, potensi kegiatan ekonomi yang bisa menjadi pusat terapi okupasi untuk anak-anak muda. Dan setelah pertemuan itu, kami kewalahan dengan telpon dan pertanyaan Mensos, kapan program bisa dilaksanakan.

Bu Risma ingin segera ke Papua untuk program-program yang konkret. Giliran kami harus cepat merespon semangat Mensos. Ketika akan membuat sentra pembuatan kripik talas di Wamena, tim harus terbang langsung dari Jayapura karena komunikasi tidak selalu lancar. Pejabat yang berwenang belum tentu bisa dihubungi untuk memberikan rekomendasi. Alhasil, komunikasi dan koordinasi menjadi kendala serius.

Untuk satu kabupaten, berarti waktu, tenaga, dan uang ekstra harus dirogoh dari kocek sendiri karena kami komunitas nirlaba tanpa sponsor. Tim harus langsung terbang ke Nabire, Fakfak, Kaimana, dan Merauke. Dari 10
Kabupaten yang semula diusulkan, pada akhirnya hanya sanggup lima.

Pada saat semua data sudah diperoleh, siap dikirim ke Jakarta, internet di Jayapura dan beberapa daerah di Papua, terputus. Selama bulan Mei, mati gaya. Tidak bisa kirim data, tidak bisa meeting online. Sampai datanglah ultimatum dari Bu Menteri.

“Agustus, program harus jalan. Kasihan anak-anak muda Papua kalau tidak segera dibantu,” ujar Mensos di pertemuan terakhir bulan Juni.

Di Jayapura dan sekitarnya, Kemensos akan mensupport Charles Toto, jungle chef yang akan mengembangkan food truck. Penjualan makanan khas Papua sekaligus memperkenalkan keanekaragaman hayati. Di Silo Doga diusulkan sinergi peternakan, pertanian, dan perkebunan bunga kertas, khas Wamena.

Di Wamena akan dikembangkan kripik talas dan pisang. Di Nabire, Fakfak, dan Kaimana akan dikembangkan industri kecil sirup pala dan jeruk.

Kali ini, kami siap presentasi program. Giliran ganasnya covid menghentikan. Maka kami benar-benar memahami ketika Mensos mengungkapkan kekesalannya beberapa waktu lalu dan menyinggung Tanah Papua. Saya tahu hati Bu Risma untuk Papua. Kalau provinsi itu disebut, bukan merujuk pada ras, tetapi pada minimnya infrastruktur, sarana, dan prasarana, termasuk informasi dan komunikasi.

Saya merasakan getar semangat Tri Rismaharini ketika saya dan Maria Ekowati merancang pemberdayaan pemuda Papua dengan terapi okupasi. Bu Risma… kami seiring bersamamu, memberi hati untuk Papua (***)