Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, periode 2001-2004, suasana politik dalam negeri membaik dan komunikasi dengan IMF tersambung kembali, memungkinkan program-program ekonomi dilaksanakan dengan lebih baik.  Konsolidasi fiskal bergulir, kepercayaan dan stabilitas kembali, tetapi kegiatan ekonomi belum sepenuhnya bangkit kembali.

Sepanjang periode ini kurs rupiah stabil, berkisar antara Rp 9.000-9.500/USD.  Inflasi menurun dari hampir 13% pada 2001 menjadi 6,5% pada 2004.  Dalam periode yang sama, suku bunga turun dari di atas 10% mejadi kurang dari 7,5%, indeks harga saham (IHSG) melipat dua dari 370 menjadi di atas 700.  Dalam 39 bulan pemerintahan ini, rasio utang pemerintah terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) turun dari hampir 100% menjadi sekitar 60% dan diproyeksikan terus menurun dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dipertahankan di bawah 2% PDB.  Di akhir masa ini tidak lagi terdengar di antara para pelaku pasar, suara-suara yang mempertanyakan kesinambungan fiskal Indonesia.

Namun gerak ekonomi belum sepenuhnya pulih kembali.  Ibarat seorang yang baru saja boleh keluar dari perawatan intensif.  Antara 2001 dan 2004 pertumbuhan meningkat dari 3% menjadi 5%, suatu tingkat yang masih jauh dari potensi ekonomi Indonesia.  Tapi yang jelas sang pasien sudah melewati masa-masa kritisnya dan kekuatannya mulai pulih kembali.  Memang masih diperlukan beberapa waktu lagi baginya untuk dapat “berlari” kembali.  Kabinet Megawati telah menciptakan landasan mantap bagi kabinet-kabinet berikutnya. (Boediono dalam The Brave Lady)