Oleh: Kristin Samah
JAKARTA (30/04/2020)—Pandemi bukan berarti berhak melakukan apa saja, termasuk menyebarluaskan buku dalam format PDF, tanpa hak. Dan alasan “sudah mewabah” itulah yang saya baca ketika ada teguran untuk tidak usah turut menyebarluaskan buku bajakan digital.
Dengan dalih mengisi waktu selama di rumah saja, buku-buku Pramoedya Ananta Toer menyebar begitu cepat. Bahkan di grup yang berisi orang-orang berpendidikan tinggi pun, penyebaran buku diterima dengan penuh rasa syukur. Persis seperti mendapat nasi bungkus. Sekalipun sudah kenyang, di rumah pun banyak makanan, tetep saja namanya pembagian gratis, diterima dengan rakus.
Pramoedya benar-benar mewakili penulis-penulis di Indonesia. Belum ada nama penulis yang bisa mengalahkan jumlah dan kualitas bukunya. Dari risetnya, alurnya, pemilihan kata, pengendapan pengalamannya, menjadi kesatuan karya yang enak dibaca. Bahkan menjadi referensi sejarah.
Namun kehidupan ekonomi Pram tidak sejalan dengan kualitas buku dan penghargaan yang ia peroleh. Ketika berkesempatan bertemu, setelah ia pulang dari Pulau Buru, kami wartawan-wartawan muda menyaksikan bahwa ia hidup dalam kebersahajaan. Buku adalah warisan paling berharga.
Pada umumnya seorang penulis, untuk bisa menerbitkan sebuah buku, ia harus membiayai sendiri keseluruhan proses mulai dari riset, pengumpulan data, proses penulisan, sampai ke pra-cetak, sebelum masuk ke penerbit. Biaya-biaya itu akan menjadi mudah bila ada pihak ketiga yang mau mensponsori penulisan buku. Bisa diperhitungkan berapa biaya yang harus dikeluarkan bila ia melakukan riset berbulan-bulan, bahkan harus mendatangi berbagai tempat dengan harga tiket dan akomodasi yang tidak murah.
Bila naskah yang ditulis masuk kriteria penerbit—salah satu yang menentukan adalah penjualan—maka buku bisa cepat diterbitkan. Untuk diketahui, pada umumnya, penulis mendapat 10-15% royalti dari harga buku. Dari nilai itu, masih harus dipotong pajak penghasilan 10%. Kalau penjualan buku tidak mencapai puluhan ribu eksemplar, sampai kapan pun penghasilan tidak akan bisa menutup biaya riset dan produksi.
Maka ketika begitu mudahnya buku Pram disebarluaskan dalam format PDF—saya yakin tanpa hak dari keluarganya—bayangkan “darah” siapa yang sedang kita hisap. Keringat siapa yang sedang kita jilat-jilat sambil mengelus-elus perut yang kegendutan karena selama di rumah saja, makan-tidur melulu.
Bahkan di era sulit, pandemi Covid-19, ketika solidaritas kemanusiaan sedang digaung-gaungkan, janganlah kita turut merampas hak orang lain. (***)